Ivana mengambil sebuah cocktail dress berwarna merah dari lemarinya. backless, satin, dengan korsase bunga mawar hitam di sebelah kiri. Pria itu yang memilihkannya untuknya dulu. Cantik, anggun dan berkelas, kata Pria itu ke Ivana. Merah warna yang menantang, membuat percaya diri dan membuatmu terlihat sangat cantik, kira-kira begitu yang Pria itu katakan padanya di sebuah butik Gucci di Fifth Avenue, NY sekitar 6 bulan lalu.
Setelah mengenakan dress tersebut Ivana kemudian mengambil sebuah stiletto merah merk Stuart Weitzman. Stiletto dengan hak 12 cm itu juga dipilihkan oleh Pria itu. Alasannya sama. Merah membuatmu lebih cantik, Ivana. Lalu dia memandang cermin, aku cantik ya aku cantik dan muda, kata Ivana dalam hati. Riasan wajah glamor dengan make-up oleh MAC menghiasi kulit putihnya, lipstick merah terang untuk bibirnya. Rambut? Bagaimana dengan rambut?? Ivana agak panik. Lalu dia diam. Mengingat-ingat, Pria itu selalu bilang dia menyukai rambut Ivana yang tergerai panjang. Tidak diapa-apakan. Memang sebaiknya tidak, begini saja, tergerai lepas. Pikir Ivana.
Ivana membuka laci samping tempat tidurnya, mengambil sesuatu yang lama tersimpan disitu. Kemudian dia mengambil secarik kertas surat yang ia terima kemarin malam. Membacanya lagi, emosinya pun naik kembali. Dia berteriak kencang, seperti kesakitan. Bukan tubuhnya yang sakit. Tapi hatinya. Apartemen penthouse yang ia tempati sendiri terlalu besar hingga sepertinya tak ada yang mendengar teriakannya. Ivana pun menangis meringkuk di samping tempat tidurnya. Tak lama ia bangun, sadar bukan saatnya menangis sekarang. Diraihnya Louis Vuitton Speedy coklat yang terletak di meja riasnya, hand-bag kesukaannya. Oh, kali ini bukan pilihan Pria itu. Tas ini pilihannya. Louis Vuitton selalu menjadi tas favorit Ivana.
Keluar dari penthouse-nya, Ivana berjalan menuju Audi R8 yang terparkir di luar gedung apartmennya. Mengendarainya menuju sebuah rumah yang tak pernah mau ia datangi, tapi kali ini harus. Sebelum keluar mobil, ia menatap kaca spion. Memastikan riasannya sempurna. Wajahnya cantik, tak ada cacat. Tentu aku cantik, kata Ivana dalam hati. Menenteng LV Speedy-nya, ia berjalan dengan angkuh menuju pintu rumah itu. Pria itu benar, stiletto ini membuatku lebih percaya diri, kata Ivana dalam hati. Ini pertama kalinya ia berdiri di depan pintu kayu dengan ukiran Jawa rumah ini, mungkin pula terakhir kalinya. Dalam beberapa kali ketukan, muncullah seseorang dari dalam.
“Ny. Herman?” Tanya Ivana pada wanita di depannya. Wanita itu baru 50-an namun terlihat lebih tua dari usianya.
Wanita itu tersenyum hangat. penampilannya jauh berbeda dengan Ivana. Hanya mengenakan sweater abu-abu tua dan celana training warna senada, wajahnya pucat, rambutnya diikat seadanya, aga berantakan, namun matanya memancarkan sebuah keramahan.
“Ya? Saya sendiri.” Kata wanita itu sambil terbatuk-batuk. Semua orang yang bertemu dengannya pasti bisa menduga kalo wanita itu sedang sakit.
Wanita itu menjerit ketika Ivana tiba-tiba menyondongkan pistol ke arah wajahnya, yang diambil dari tas tangannya.
Dan bunyi tembakan kedua membuat rumah itu tiba-tiba sunyi.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, pikiran Ivana pun melayang jauh.
Aku lelah seperti ini..
tak boleh ada yang memilikimu, tidak juga istrimu.
semoga, disini kau bisa lihat, mati pun aku lebih cantik, aku mahal, aku lebih berharga. ..
*pic taken from google
Post a Comment