Seorang kawan baik datang ke rumah pada suatu siang. Selagi ia mengantarkan barang pesanan saya, kami kemudian duduk di teras dan bertukar kabar. Diantara kabar baik, sehat, alhamdulillah, terselip juga si X sedang sakit, si Y sudah bercerai, si Z sedang proses cerai juga, si A rebutan anak dengan mantan dan si B memutuskan tali pertemanan. Dalam sebuah pertemuan singkat, semua cerita dan rahasia lantas mengalir deras. Motherhood menelan kami hidup-hidup. Kami yang dulu begitu ringan melangkah, kini setengah nyawa sudah habis dipakai mengurus rumah dan bekerja.
Dalam beberapa jam saja, banyak kelam yang terkuak.
Sahabat dekat kami, menjadi korban kekerasan rumah tangga. Kami tidak bisa
berbuat banyak lantaran ia tinggal di luar kota. Kawan baik diselingkuhi
berkali-kali sampai ingin mati. Seorang teman lain yang akhirnya bercerai,
masih harus berjuang agar mantan suami ingat anaknya, atau sekedar ingat untuk
menafkahi. Sekarang, mengimani menikah sekali untuk seumur hidup rasanya jadi
naif sekali.
And love is just a camouflage for what resembles rage again
Dua orang berada dalam satu ikatan, kadang hanya
berupa nama-nama tercatat. Tak ada perasaan cinta, atau apapun yang mau kau
taruh di sana. Seringnya hanya hampa. Kosong. Kata kawan baik saya, mau dibawa
sampai ke mana gerobak derita ini, biar nanti tuhan yang beri tahu. Lewat doa,
lewat mimpi atau lewat bukti-bukti perselingkuhan lagi.
Kawan baik lantas bertanya lagi, apakah masih ada
cinta tersisa untuknya di belahan manapun di dunia. Retorikal pun, tapi tetap
saja tak bisa saya jawab. Sekadar menyuruhnya sabar juga saya tak mampu. Musti berapa
kilogram kesabaran untuk menghadapi ular berbisa. Alih-alih melawan, gigitan
bisanya akan masuk ke pembuluh darah, kita pun akan tetap mati perlahan. Maka,
membiarkan ia di kandang atau di alam liar saja sekalian. Agar aman, agar fisik
tidak mati sia-sia.
Post a Comment