Dengan napas ngos-ngosan karena baru saja menaiki tangga sebanyak dua lantai, sampailah saya di ruangan sempit di loteng sebuah rumah sakit tipe C. Ruang seadanya yang disulap menjadi sebuah ruang tunggu untuk keluarga pasien ICU itu bersebelahan dengan rooftop. Jemuran baju-baju dan kasur lipat bertumpuk adalah dua pemandangan yang saya tangkap di sekeliling. Saya disapa oleh seorang perempuan muda berusia awal 20-an saat saya menengok lebih dalam ke ruangan.
“Cari tempat, Kak?”
Saya mengiyakan, dan kami pun berkenalan. Mila,
namanya, ia lalu menunjukkan saya sebuah spot di pojokan, cukup kalau cuma
untuk tidur satu orang. Mila meminjamkan saya karpet tipis sebagai alas karena
saya hanya membawa selembar bedcover. Rencananya sore nanti saya mau ke
rumah dulu untuk mengambil barang lain. Saya dan Mila lalu mengobrol macam-macam,
soal menunggui pasien ICU, BPJS, rumah sakit ini dan perasaan-perasaan tidakk
menentu sebagai caregiver atau pengasuh orang tua yang sakit.
Ini adalah pertama kalinya Ayah saya masuk ICU karena
kesehatannya bertambah buruk setelah dua malam ‘transit’ di IGD. Keadaan pasien
ICU yang bisa berubah dalam beberapa saat, mengharuskan adanya keluarga yang stand-by,
berjaga-jaga kalau misalnya ada tindakan yang butuh persetujuan
secepatnya.
Mila, sudah empat malam
menunggu Ibunya. Ia nyaris tidak bisa kemana-mana karena sebagai anak tunggal, tidak
ada lagi keluarga lain yang bisa bergantian. Rumahnya pun jauh dari RS ini. Tujuh
bulan sudah Mila mengurus Ibunya sendirian. Ini adalah ketiga kalinya sang Ibu
masuk ICU. Entah berapa kali ia harus izin dan cuti dari pekerjaan, hingga
akhirnya Mila memilih resign. Mila tidak punya pilihan, karena kalau
bukan dia, ya siapa lagi.
Yang berasal dari kelas menengah ke bawah, yang tidak punya
dana tambahan untuk membayar pengasuh lain, mau tidak mau harus mengurus
sendiri orang tua atau kerabat yang sakit. Menjadi caregiver apalagi
untuk orang tua yang sudah tidak bisa mandiri, adalah sebuah ‘beban’ yang tidak
tahu harus ditanggung sampai kapan.
Berdasarkan penelitian dari Makara Jurnal Universitas
Indonesia, seorang caregiver mengalami penurunan kualitas hidup terutama
dari empat aspek utama: fisik, psikis, sosial dan lingkungan. Seorang caregiver,
terutama yang sudah lama merawat keluarga sakit, sangat rentan pada stress dan
kecemasan (anxiety). Tubuh yang kelelahan memicu pelepasan hormon
kortisol, yang membuat tubuh berada mode ‘fight’, mudah stress dan memantik resiko
penyakit.
Selain Mila, saya juga berkenalan dengan Ibu Sumirah
yang bersama dua anak lelakinya menunggui sang suami selama lima hari terakhir.
Sembari menyantap nasi bungkusnya yang sesekali ia tawari pada saya, Bu Sumirah
juga mengeluhkan kelelahan dan rasa jenuh tentang ketidakpastian di rumah
sakit.
Ruang tunggu ICU melukiskan lika-liku keluarga
penunggu anggota yang sakit. Raut wajah kekhawatiran, mulut yang tidak berhenti
bergerak merapal doa-doa keselamatan, kadang keputusasaan karena tahu bagaimana
akhirnya.