Cerita dari Ruang Tunggu

14 October 2024

 



Dengan napas ngos-ngosan karena baru saja menaiki tangga sebanyak dua lantai, sampailah saya di ruangan sempit di loteng sebuah rumah sakit tipe C. Ruang seadanya yang disulap menjadi sebuah ruang tunggu untuk keluarga pasien ICU itu bersebelahan dengan rooftop. Jemuran baju-baju dan kasur lipat bertumpuk adalah dua pemandangan yang saya tangkap di sekeliling. Saya disapa oleh seorang perempuan muda berusia awal 20-an saat saya menengok lebih dalam ke ruangan.

“Cari tempat, Kak?” 

Saya mengiyakan, dan kami pun berkenalan. Mila, namanya, ia lalu menunjukkan saya sebuah spot di pojokan, cukup kalau cuma untuk tidur satu orang. Mila meminjamkan saya karpet tipis sebagai alas karena saya hanya membawa selembar bedcover. Rencananya sore nanti saya mau ke rumah dulu untuk mengambil barang lain. Saya dan Mila lalu mengobrol macam-macam, soal menunggui pasien ICU, BPJS, rumah sakit ini dan perasaan-perasaan tidakk menentu sebagai caregiver atau pengasuh orang tua yang sakit.

Ini adalah pertama kalinya Ayah saya masuk ICU karena kesehatannya bertambah buruk setelah dua malam ‘transit’ di IGD. Keadaan pasien ICU yang bisa berubah dalam beberapa saat, mengharuskan adanya keluarga yang stand-by, berjaga-jaga kalau misalnya ada tindakan yang butuh persetujuan secepatnya. 

Mila, sudah empat malam menunggu Ibunya. Ia nyaris tidak bisa kemana-mana karena sebagai anak tunggal, tidak ada lagi keluarga lain yang bisa bergantian. Rumahnya pun jauh dari RS ini. Tujuh bulan sudah Mila mengurus Ibunya sendirian. Ini adalah ketiga kalinya sang Ibu masuk ICU. Entah berapa kali ia harus izin dan cuti dari pekerjaan, hingga akhirnya Mila memilih resign. Mila tidak punya pilihan, karena kalau bukan dia, ya siapa lagi.

Yang berasal dari kelas menengah ke bawah, yang tidak punya dana tambahan untuk membayar pengasuh lain, mau tidak mau harus mengurus sendiri orang tua atau kerabat yang sakit. Menjadi caregiver apalagi untuk orang tua yang sudah tidak bisa mandiri, adalah sebuah ‘beban’ yang tidak tahu harus ditanggung sampai kapan.

Berdasarkan penelitian dari Makara Jurnal Universitas Indonesia, seorang caregiver mengalami penurunan kualitas hidup terutama dari empat aspek utama: fisik, psikis, sosial dan lingkungan. Seorang caregiver, terutama yang sudah lama merawat keluarga sakit, sangat rentan pada stress dan kecemasan (anxiety). Tubuh yang kelelahan memicu pelepasan hormon kortisol, yang membuat tubuh berada mode ‘fight’, mudah stress dan memantik resiko penyakit.

Selain Mila, saya juga berkenalan dengan Ibu Sumirah yang bersama dua anak lelakinya menunggui sang suami selama lima hari terakhir. Sembari menyantap nasi bungkusnya yang sesekali ia tawari pada saya, Bu Sumirah juga mengeluhkan kelelahan dan rasa jenuh tentang ketidakpastian di rumah sakit.

Ruang tunggu ICU melukiskan lika-liku keluarga penunggu anggota yang sakit. Raut wajah kekhawatiran, mulut yang tidak berhenti bergerak merapal doa-doa keselamatan, kadang keputusasaan karena tahu bagaimana akhirnya.

Malam itu, rencananya saya akan bermalam bersama Mila dan Ibu Sumirah. Namun, saat menuju tengah malam, saya mengucap pamit kepada mereka dan penghuni ruang tunggu lainnya. Ayah saya berpulang di pukul 22.10, setelah berjuang 12 jam di ruang ICU. Perkenalan singkat yang memberi makna. Semua momen di hari itu, kini tersimpan dalam memori inti. 
Read More

Kiat-kiat Menghadapi Racun Dunia

10 November 2023



Seorang kawan baik datang ke rumah pada suatu siang. Selagi ia mengantarkan barang pesanan saya, kami kemudian duduk di teras dan bertukar kabar. Diantara kabar baik, sehat, alhamdulillah, terselip juga si X sedang sakit, si Y sudah bercerai, si Z sedang proses cerai juga, si A rebutan anak dengan mantan dan si B memutuskan tali pertemanan. Dalam sebuah pertemuan singkat, semua cerita dan rahasia lantas mengalir deras. Motherhood menelan kami hidup-hidup. Kami yang dulu begitu ringan melangkah, kini setengah nyawa sudah habis dipakai mengurus rumah dan bekerja.

Dalam beberapa jam saja, banyak kelam yang terkuak. Sahabat dekat kami, menjadi korban kekerasan rumah tangga. Kami tidak bisa berbuat banyak lantaran ia tinggal di luar kota. Kawan baik diselingkuhi berkali-kali sampai ingin mati. Seorang teman lain yang akhirnya bercerai, masih harus berjuang agar mantan suami ingat anaknya, atau sekedar ingat untuk menafkahi. Sekarang, mengimani menikah sekali untuk seumur hidup rasanya jadi naif sekali.

Diri kami di SMA dulu pasti tidak menyangka kalau menjadi dewasa berarti level derita juga bertambah. Cinta bukan seperti yang digambarkan dalam lagu Hoobastank yang sering kami request di radio. Kadang ia lebih mirip seperti yang dibilang Slipknot,

And love is just a camouflage for what resembles rage again

Dua orang berada dalam satu ikatan, kadang hanya berupa nama-nama tercatat. Tak ada perasaan cinta, atau apapun yang mau kau taruh di sana. Seringnya hanya hampa. Kosong. Kata kawan baik saya, mau dibawa sampai ke mana gerobak derita ini, biar nanti tuhan yang beri tahu. Lewat doa, lewat mimpi atau lewat bukti-bukti perselingkuhan lagi.

Kawan baik lantas bertanya lagi, apakah masih ada cinta tersisa untuknya di belahan manapun di dunia. Retorikal pun, tapi tetap saja tak bisa saya jawab. Sekadar menyuruhnya sabar juga saya tak mampu. Musti berapa kilogram kesabaran untuk menghadapi ular berbisa. Alih-alih melawan, gigitan bisanya akan masuk ke pembuluh darah, kita pun akan tetap mati perlahan. Maka, membiarkan ia di kandang atau di alam liar saja sekalian. Agar aman, agar fisik tidak mati sia-sia.

Read More

Di Suatu Rabu

28 January 2023

Photo by Lisa Fotios on Pexels.com

Mari duduk bersamaku di kedai kopi. Kita pilih tempat di samping jendela besar dengan pemandangan ke arah jalan, supaya mataku bisa sesekali melarikan diri dari tatapan teduhmu itu. Ya, aku suka kopi hitam tanpa gula sekarang.  Datang juga masanya untuk mulai mengurangi minuman manis. Apa kabarmu? Berapa tahun? Tiga belas katamu? Sungguh hari Rabu yang absurd di bulan Januari. Kita bertemu lagi karena sebuah aplikasi. Tidak, aku tidak terburu-buru, mari kita nikmati dulu momen langka yang kita tahu tak akan kejadian lagi. Kecuali kalau, aku dan kamu berkehendak sama. Begitu kan? Ceritakan padaku banyak hal. Seperti dahulu.

Kau masih mendengarkan The Strokes? Atau hari-harimu kini dimulai dengan ritual Cocomelon di layar? Tidak, anakku sudah di sekolah dasar. Tidak lagi tertarik pada nursery rhymes. Ya, hanya ada satu. Kamu? Wah, tidak menyangka kamu bisa jadi ayah tiga anak. Kukira kamu bukan laki-laki yang menginginkan keturunan. Kamu pernah bilang itu padaku. Tujuan menikah bukan anak, jangan membebani diri, katamu. Wah, sudah pasti kita takkan ke mana-mana. Karena dahulu menjadi ibu adalah cita-citaku. Wanita hebat dia, bisa mengubah pola pikirmu itu.

Aku melakoni peranku dengan cukup baik. Ya, setidaknya menurut bapaknya anakku. Tentu, aku masih melukis, beberapa karyaku ada di galeri ternama. Kamu tahu saja, ya pasti dibantu orang dalam. Bapaknya anakku itu kenal baik dengan banyak kurator. Apa? Kamu masih menganggapku seperti Rara Mendut? Lantas, apa kamu masih berkhayal kamu itu Pranacitra? Tidak, tidak, kita bukan seperti mereka. Aku tidak mau mati bersamamu. Atau bisa juga iya, hanya saja aku tetap memilih dinikahi Tumenggung Wiraguna, agar hidupkku aman saja berlimpah kesejahteraan. Nyai Ajeng bisa kusingkirkan dengan mudah bagai menjentikkan jari. Begitu, kan? Ah, mengapa mereka tidak membuat kembali filmnya ya? Kamu tahu kan rasanya ada yang gatal sewaktu melihat Meriam Bellina memerankan Raden Rara Mendut. Dahulu kan mencari aktris itu susah sekali. Sekarang rasanya banyak aktris muda berbakat. Perempuan manis berkulit gelap dari pantai utara, diperankan oleh wanita keturunan Belanda berkulit terang itu benar-benar mengangguku.

Ah, sialan, kamu tertawa. Manis sekali. Kerutan di sisi matamu mulai kentara. Berapa usia kita sekarang? Tahun ini aku tiga puluh delapan. Sama ya? Aduh, jangan gombal. Tentulah aku menua. Jika menurutmu tidak begitu terlihat, percayalah skincare yang harganya tidak murah itu memang bekerja dengan baik.  Rambutku juga mulai beruban. Tidak, tidak, aku kapok mewarnai rambut. Aku harus berjuang lama untuk mengurusi rambut rontok.

Aku dan kamu terdiam. Sebuah lagu diputar di kedai ini. Stolen Dance oleh Milky Chance. Lalu, kamu tertawa lagi. Ya, pasti. Mengapa ada sebuah kebetulan-kebetulan yang menggelitik seperti ini ya? Aku tahu, sepuluh tahun lalu aku masih membuka inbox Facebook-ku. Tautan lagu ini barangkali masih ada di histori percakapan kita.


We need to fetch back the time

They have stolen from us

And I want you

We can bring it on the floor

You've never danced like this before

We don't talk about it

Dancin' on do the boogie all night long

Stoned in paradise, shouldn't talk about it


Kita bukan lagi mahasiswa semester lima. Kamu kira dua belas tahun tidak bersua, aku masih orang yang sama? Jika aku mengikuti ideal versimu, tentu tidak sebegini nyaman hidupku. Ya, orang-orang berubah. Seratus  poin untukmu. Tapi lihat, ada juga yang tidak berubah? Kamu masih membawa buku ke mana-mana. Boleh lihat buku apa itu? Ah, aku juga baru menyelesaikan buku itu. Bahkan, sudah mengulasnya di laman Insta-ku. Kau tahu? Mengapa tidak bilang kamu follow aku? Baik, aku follow balik ya. 

Betul, setelah sekian lama akhirnya aku sempat membaca Murakami-mu yang maha agung itu. Tidak, aku tidak kecewa. Tapi, tuduhan-tuduhan kalau dia misoginis memang nyata. Aku hanya tidak suka pada tokoh-tokoh perempuan yang menye-menye begitu. Maksudku, seakan-akan semua perempuan ini sangat bergantung pada si Watanabe. Tidak, aku tidak membenci Watanabe. Hanya penasaran kupikir dia akan ikut mati juga. Ya, ya, aku baru saja memesan judul yang kau sebut itu. Banyak ulasan bagus soal buku itu. Kalau ada waktu luang, tentu kubaca.

Lihat, sudah satu setengah jam kita di sini. Aku harus segera beranjak. Apa katamu? Tentu saja Tumenggung Wiraguna memberikanku mobil pribadi. Aku hanya malas membawanya. Aku lebih suka berpindah dari satu ojek ke ojek lain lalu naik bus atau taksi. Tidak repot mencari parkir.

Mari kita lanjutkan perjalanan.

Empat puluh empat menit terlewati.

Baiklah, aku turun di sini. Terima kasih karena sudah berhati-hati. Juga karena tidak mengajakku ngobrol dan membiarkanku menikmati album Taylor Swift yang baru. Oh, tentu saja  atas nostalgia kita tadi. Tidak, aku tidak tahu. Tidak perlu mengupayakan hal-hal yang kita tahu benar tidak ada ujungnya.

Selamat siang.

Aku beri kamu bintang lima.

Selamat bekerja kembali.

Read More